Dimulai dengan 2 orang kawan yang hangover akibat mabuk semalam hingga tak sadarkan diri, sehingga membuat kost menjadi berantakan dan salah satu dari mereka memonopoli spot tidur gw. Seperti biasa gw biarkan mereka seperti itu. Tetapi karena beberapa jam kemudian gw harus menghadapi shift kerja pagi, terpaksa gw harus usir salah satu dari mereka agar gw bisa beristirahat dengan tenang dan nyaman. Tetapi, apa daya. Alkohol telah merasuki otak mereka. Gw bangunkan mereka berkali-kali dan tetap tak bergerak hingga akhirnya emosi memuncak. Gw pun pergi tanpa sepatah kata, membanting pintu, mematikan AC, sumpah serapah dan pergi. Hal pertama yang ada di otak gw adalah Gamelan Kopi. Sebuah tempat nongkrong minimalis yang memiliki spesialis kopi, yang beberapa bulan ini menjadi tempat nongkrong favorit dan menjadi basecamp beberapa teman.
Sesampai di Gamelan, ada beberapa kawan gw yang masih ada disana serta Mas Eddy dan timnya. Mas Eddy adalah pemilik dari warung kopi ini. Katanya doi sih lulusan sastra, makanya konsep dari kedai kopi miliknya ini sangat tradisional dan authentic. Dari situ sih filosofinya. Seiring obrolan kami, waktu menunjukkan pukul 4 dini hari. Gw dan yang lainnya pun mulai mengantuk. Sementara gw bingung harus menumpang untuk tidur dimana, walau hanya sejenak (2 jam sebelum pulang ke kost untuk bersiap-siap pergi ke kantor). Moment terkantuk-kantuk ini paling enak sambil dengar lagu dan sambil main gitar. Karena sebelumnya kita membicarakan tentang alat tiup asal Skotlandia yaitu Highland Bagpipe, gw memperdengarkan satu band dari US, dari Boston tepatnya, yaitu Dropkick Murphys. Saat kita lagi membicarakan dengan band ini, lewatlah sebuah motor dengan orang setengah typsy yang mengendarainya. Seorang pria kira-kira umur 35an keatas dengan muka yang cukup sangar (menurut gw). Dia bertanya tentang makanan dan akhirnya Mas Eddy pun mempersilahkannya duduk walaupun sebenarnya warung sudah mau ditutup. Akhirnya pria tersebut memesan Mie instant rebus dengan es teh.
Beberapa lagu-lagu Dropkick Murphys masih kami putar sambil mengobrol. Tepat disaat lagu The Boys Are Back masih melantun, pria tersebut berkomentar dan memberi tahu kita tentang band lainnya yang setipe dan memiliki sound yang khas yaitu menggunakan Highland Bagpipe. Setelah mengobrol panjang lebar tentang Working Classm ternyata usut punya usut beliau adalah pemilik Oscar Bar yang 3 bulan yang lalu ditutup dan disegel karena menjadi tempat TKP kejadian Arak Oplosan yang memakan korban hingga 5 orang.
Seiring berjalannya obrolan kami, ternyata beliau adalah salah satu penggagas dan penggiat skinhead di Indonesia. Beliau selalu mendukung semua pergerakan underground maupun subculture yang ada di Indonesia. Beliau memiliki impian agar seluruh komunitas yang ada di Indonesia ini dapat merangkul dan bergandeng tangan tanpa membeda-bedakan genre, ras, idealis dan lainnya. Beliau mengatakan bahwa kita yang di Indonesia ini hanyalah pengadopsi budaya yang ada dari Eropa dan Amerika sehingga tidak perlulah adanya perbedaan dan perkotak-kotakan di dalam kebudayaan ini. Budaya yang dimaksud adalah gerakan-gerakan daan budaya underground seperti Punk, Skinhead, Metal dan subculture lainnya yang lahir secara independent dan ingin dicap berbeda dari yang lainnya.
Semoga impian Bang Mapex dan kawan-kawan akan terwujud di kemudian hari. Sampai bertemu lagi Bang. Banyak hal yang harus kita kupas tuntas lagi.
Gamelan Coffee - Bali
7/01/15